16 Agustus 2009

Dan Ia Pun Pergi

Sekitar satu tahun lalu, yakni pertengahan bulan Ramadhan 2008, saya bersama seorang teman mendapat tugas untuk mendatangi seorang. Tugas itu, kami terima dari pemred jurnal tempat kami mencurahkan ide dan gagasan. Tugas itu kami laksankan tanpa pikir panjang, karena orang yang harus kami temui dan wawancarai adalah seseorang hebat, yang ketokohannya ternyata tak banyak diketahui banyak orang.

Satu hal yang aneh memang, seseorang hebat yang dilupakan karena dituduh menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa ini. Orang yang kami temui itu ternyata seorang lelaki tua. Lelaki tua yang seperempat hidupnya ia habiskan di dalam sel tahanan orde baru, karena dianggap menjadi bagian dari orang berhaluan kiri.

Lelaki tua itu menerima kami di kediamannya yang cukup nyaman, yakni di bilangan selatan Jakarta. Kami pun masuk tanpa melepaskan alas kaki kami. Sesaat kemudian, lelaki itu mengajak kami untuk masuk ke ruangan yang berukuran kira-kira 2x3 meter, yakni ruangan tempat ia biasa menghabiskan waktunya sehari-hari. Lelaki itu tampak sangat rapuh, dengan balutan selang kabel oksigen di hidungnya, ia kemudian membuka obrolan, dengan menanyakan asal dan maksud tujuan kami.

Lelaki itu, kemudian mengangguk dan bersedia melanjutkan obrolan dan menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan kepadanya, setelah kami memperkenalkan diri serta mengutarakan maksud dan tujuan kami. Lelaki itu, terlihat sangat antusian dan masih bersemangat untuk menjawab bahkan memberikan analisa-analisa kritisnya terhadap pertanyaan yang kami ajukan. Sesekali, ia menghela nafas panjang untuk menghirup oksigen dalam tabung berukuran 20 kg (kalo ga salah).

Waktu pun berlalu, kurang lebih sejam setengah kami habiskan bersama di ruangan kerjanya. Ia pun mengantarkan kami ke ruangan depan rumahnya, sesaat kemudian kami beranjak untuk meninggalkan kediaman lelaki tua tersebut.

***

Sebulan kemudian, kami mendatangi kediaman lelaki itu kembali. Kali ini, saya berkunjung bersama tiga orang teman lainnya, kami pun masuk dengan melepaskan alas kaki. Lelaki tua itu menyapa kami di ruang kerjanya, kali ini ia terlihat segar. Ia sudah tidak lagi mengenakan selang kabel oksigen dan parahnya, ia sudah kembali menikmati rokok kesukaannya dan sahabat karibnya (Pram) yakni (Djarum Super). Kami diajaknya untung berbincang mengenai sejarah pergolakan bangsa yang turut mengantarnya masuk ke dalam bui, hal-hal yang sifatnya pribadi, pandangan-pandangan politiknya, sampai seuntai nasihat yang sampai detik ini terasa mengiat di telinga, yakni “jangan pernah perlihatkan ketakutan, bung, pada penguasa, karena itulah yang mereka cari dari, bung”.

Dua jam tak terasa, ternyata kami telah asyik masyuk terjerumus dalam cerita dan kata-kata lelaki tua itu. Kami pun memutuskan untuk segera beranjak, karena kami berpikir, kala waktu mengejar kami untuk segera beraktivitas kembali. Dan seperti pada pertemuan pertama, lelaki itu mengantarkan kami ke ruangan depan rumahnya dan kemudian mengajak kami untuk melihat perhargaan-penghargaan dari berbagai Negara. Ada satu penghargaan yang ia banggakan, yakni penghargaan dari sebuah gerakan mahasiswa bernama Serikat Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi atau SMID, sesaat kemudian ia mengantarkan kami menuju halaman rumahnya. Ia terlihat terkejut, karena kami ternyata melepas alas kaki kami. Raut kegelisahan terpancar dari wajah lelaki itu, ada kecemasan yang menghantuinya. Ia seolah khawatir akan ada sesuatu yang tak baik. Tapi raut itu segera sirna, setelah salah satu dari kami menawarkan untuk berfoto bersama, untuk menghiasi moment perpisahan itu. Kami pun beranjak kembali menuju dunia kami sendiri-sendiri.

***

15 Agustus 2009, sekitar jam 08.25 pagi, dering bunyi nada sms mengalun di handphone saya, ada dua potong sms yang dikirim dari seorang sahabat yang juga pemred jurnal kami. Isi sms itu ternyata berita duka, tentang lelaki tua yang akhirnya pergi meninggalkan kami. Saya pun terkejut. saat duka masih terasa karena ditinggal pergi oleh seniman besar belum juga hilang, kini duka itu menyumbat kembali di pikran dan perasaan. Lelaki tua yang dilupakan oleh bangsa ini, kini pergi menuju tempat peristirahatan terakhirnya. ia pergi di bulan yang kata orang adalah bulan yang dinamai dari seorang kaisar hebat Romawi Kuna, bulan Agustus bulannya August Caesar.

***

Lelaki tua itu adalah Joesoef Ishak, lelaki yang berjasa dengan menerbitkan tetralogi Buru karya sang maestro “realisme social” Pramoedya Ananta Toer, sahabat karibnya. Lelaki yang tanpa rasa takut (walaupun ia mengaku bahwa sebenarnya ia takut) menerbitkan karya-karya Pram yang dinilai Sosialis dan Komunis itu. Ia berjibaku memulihkan kerangka pikir bangsa yang dinilainya telah dibengkokan oleh Rezim Otoriter Orde Baru.

Lelaki tua yang disela-sela masa tuanya, masih saja membiasakan dirinya untuk membaca buku. Salah satu buku yang mengelitik pikirannya adalah “Reinventing Indonesia”. Ia beranggapan bahwa buku itu sia-sia, karena yang sejatinya harus ditulis adalah “reinventing Mindset of Indonesia” (baca PendarPena Edisi “kiri Indonesia”). Pernyataannya itu ia lontarkan karena masyarakat Indonesia telah terjerabak masik dalam alur pikir yang sesat, dan sudah seharusnya dibenahi.

Tapi kini, Joesoef Ishak telah tiada. Ia pergi dengan menginggalkan pesan pada kami, bahwa perubahan hanya bisa dimungkinkan jika pola pikir bangsa ini telah dibenahi.

Selamat jalan Joesoef Ishak. Kini adalah tugas kami untuk melanjutkan apa yang kau harapkan.