25 Agustus 2009

Pulang ke Rumah

Matahari bergerak disamping jalan;
dihiasi hembusan angin
melalui kepakan sayap kupu-kupu;
memercikan warna dan kebisuan hati
yang pilu;

lantas terbang dalam pusaran angin di awan kelabu
yang datang membawa gerimis senja kala
Kala waktu yang melebur dalam gumaman hati;

Terpuruk dalam ruang batin yang terisolir cahaya mata seorang gadis;
tak ada kata, tak ada suara bahkan tak ada jiwa;
karena kematian telah menjemput,
untuk pulang ke rumah

depok, 2007

270807

Di depan pelupuk mata;
semesta raya masih saja hidup, lewat
lampu-lampu yang menghiasi pekatnya kopi…
angin berdesir mengantarkan harapan
yang hinggap melalui bunyi suara jangkrik di kesepian;
sementara gedung-gedung masih tegak,
dalam gelombang jiwa yang bergerak;
mencari setetes nafas untuk
besok yang akan datang…

Bogor

22 Agustus 2009

Kurindu Tempat Itu

Tempat itu cukup besar, berada diantara luasnya hamparan pesawahan yang membentang dari Timur ke Barat, dari Selatan ke Utara. Tempat itu pun cukup nyaman. Nyaman karena angin senjanya yang selalu memberikan setitik inspirasi bagi manusia yang terjebak dalam rutinitas. Yah, empat itu adalah tempat yang saya rindukan hari ini.

***

Sekitar tiga tahun lalu, seorang dosen menawarkan saya dan teman seangkatan untuk menghadiri satu acara di sebuah tempat di selatan Bogor. Tanpa pikir panjang, saya pun menyetujui tawaran dari dosen tersebut. Akhir minggu, saya dan kawan-kawan berangkat menuju tempat itu. Dosen yang menjanjikan akan menjadi guide kami tak nampak batang hidungnya. Kami pun menjadi manusia-manusia terlantar di stasiun yang penuh kerumunan orang. Tak dinyana, seseorang yang asing tapi terasa kenal menanyakan hendak kemana kami. Satu diantara kawan menjawab, kami akan menuju satu tempat di selatan bogor. Dan ternyata, orang itu pun mempunyai tujuan yang sama. Kami pun mengikuti dia seperti bebek-bebek yang mengikuti induknya.

Disepanjang jalan, saya mencoba menghafal setiap jalur yang dilakui angkot yang kami naiki. Dan tak terasa kami sampai di sebuah kampung yang masih memiliki hamparan sawah yang hijau. Sungai yang masih jernih, serta cerita-cerita sejarah yang konon membuat pikiran merasa aneh karena tak masuk diakal.

***

Beberapa hari berlalu, tak disangka seorang senior mengajak saya untuk membantunya menelusuri jejak-jejak kampung tersebut lewat obrolan-obrolan, naskah-naskah, serta memori kolektif yang masih menempel di kepala warganya. Tanpa berpikir dua kali, saya pun menyanggupi ajakan itu.

***

Hari berganti, dan bulan demi bukan kami lalui. Kami berusaha untuk menjadi manusia yang sedikit teliti, yah, karena kami sedang berusaha untuk menelusur ke dalam alam pikiran dan tradisi kolektif sebuah pikiran dari peradaban yang lampau. Kami telusuri secara perlahan, membaca ulang bahkan terkadang menafsir ulang semua cerita dan pendapat yang kami terima. Cukup mengejutkan memang, cerita yang kami dengar hadir dari sebuah penjagaan warga terhadap ruang kosong yang bernama tradisi, sebuah hal yang mengagetkan. Karena tatkala tradisi sudah dianggap sampah dan tak berguna, ternyata masih ada komunitas yang mau menjaganya.

***

Tahun telah berganti, hari ini sehari setelah setiap orang tiba-tiba menjadi pendosa baru, rasa rindu terhadap kampung itu hinggap. Entah karena apa! Ingatan tentang tempat itu mendadak masuk kedalam ruang ingatan. Tempat yang dahulu hanya dikenal oleh segelintir orang, kini telah berkembang dengan pesat, menjadi daya tarik dari eksotika gunung salak yang berdiri gagah disampingnya dan berdiri diatas hamparan kota Bogor yang hidup saat gelap menyapanya.

Rasa rindu ini begitu kuat, rindu pada pemandangan sawah yang hijau membentang, rindu pada air sungai yang mengalir, rindu pada suasana senja pegunungannya, rindu pada nikmat kopinya yang khas di malam hari, rindu pada angin gunung yang berhembus, rindu pada masakan seorang ibu, rindu pada para penari yang selalu tersenyum, rindu pada ama, abah, umi, amang dan babeh, rindu pada suasana malam yang membuat saya harus mengepulkan asap melalui mulut, dan juga rindu pada obrolan-obrolan hangat menjelang tidur dari kakak-kakak yang telah sibuk dengan rutinitasnya.

Yah, setumpuk kerinduan yang tiba-tiba menyelinap dalam ingatan dan mencoba untuk dipenuhi. Kerinduan yang mungkin dating karena telah lama tak saya hinggapi tempat itu. Tempat yang membuat saya tahu, mengerti serta sadar bahwa saya adalah makhluk kecil yang berdiri diantara putaran kosmos kehidupan. Juga tempat dimana nilai semua rutinitas terasa mengendap ketika angin pagi menyapa saat bangun tidur.

16 Agustus 2009

Dan Ia Pun Pergi

Sekitar satu tahun lalu, yakni pertengahan bulan Ramadhan 2008, saya bersama seorang teman mendapat tugas untuk mendatangi seorang. Tugas itu, kami terima dari pemred jurnal tempat kami mencurahkan ide dan gagasan. Tugas itu kami laksankan tanpa pikir panjang, karena orang yang harus kami temui dan wawancarai adalah seseorang hebat, yang ketokohannya ternyata tak banyak diketahui banyak orang.

Satu hal yang aneh memang, seseorang hebat yang dilupakan karena dituduh menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa ini. Orang yang kami temui itu ternyata seorang lelaki tua. Lelaki tua yang seperempat hidupnya ia habiskan di dalam sel tahanan orde baru, karena dianggap menjadi bagian dari orang berhaluan kiri.

Lelaki tua itu menerima kami di kediamannya yang cukup nyaman, yakni di bilangan selatan Jakarta. Kami pun masuk tanpa melepaskan alas kaki kami. Sesaat kemudian, lelaki itu mengajak kami untuk masuk ke ruangan yang berukuran kira-kira 2x3 meter, yakni ruangan tempat ia biasa menghabiskan waktunya sehari-hari. Lelaki itu tampak sangat rapuh, dengan balutan selang kabel oksigen di hidungnya, ia kemudian membuka obrolan, dengan menanyakan asal dan maksud tujuan kami.

Lelaki itu, kemudian mengangguk dan bersedia melanjutkan obrolan dan menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan kepadanya, setelah kami memperkenalkan diri serta mengutarakan maksud dan tujuan kami. Lelaki itu, terlihat sangat antusian dan masih bersemangat untuk menjawab bahkan memberikan analisa-analisa kritisnya terhadap pertanyaan yang kami ajukan. Sesekali, ia menghela nafas panjang untuk menghirup oksigen dalam tabung berukuran 20 kg (kalo ga salah).

Waktu pun berlalu, kurang lebih sejam setengah kami habiskan bersama di ruangan kerjanya. Ia pun mengantarkan kami ke ruangan depan rumahnya, sesaat kemudian kami beranjak untuk meninggalkan kediaman lelaki tua tersebut.

***

Sebulan kemudian, kami mendatangi kediaman lelaki itu kembali. Kali ini, saya berkunjung bersama tiga orang teman lainnya, kami pun masuk dengan melepaskan alas kaki. Lelaki tua itu menyapa kami di ruang kerjanya, kali ini ia terlihat segar. Ia sudah tidak lagi mengenakan selang kabel oksigen dan parahnya, ia sudah kembali menikmati rokok kesukaannya dan sahabat karibnya (Pram) yakni (Djarum Super). Kami diajaknya untung berbincang mengenai sejarah pergolakan bangsa yang turut mengantarnya masuk ke dalam bui, hal-hal yang sifatnya pribadi, pandangan-pandangan politiknya, sampai seuntai nasihat yang sampai detik ini terasa mengiat di telinga, yakni “jangan pernah perlihatkan ketakutan, bung, pada penguasa, karena itulah yang mereka cari dari, bung”.

Dua jam tak terasa, ternyata kami telah asyik masyuk terjerumus dalam cerita dan kata-kata lelaki tua itu. Kami pun memutuskan untuk segera beranjak, karena kami berpikir, kala waktu mengejar kami untuk segera beraktivitas kembali. Dan seperti pada pertemuan pertama, lelaki itu mengantarkan kami ke ruangan depan rumahnya dan kemudian mengajak kami untuk melihat perhargaan-penghargaan dari berbagai Negara. Ada satu penghargaan yang ia banggakan, yakni penghargaan dari sebuah gerakan mahasiswa bernama Serikat Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi atau SMID, sesaat kemudian ia mengantarkan kami menuju halaman rumahnya. Ia terlihat terkejut, karena kami ternyata melepas alas kaki kami. Raut kegelisahan terpancar dari wajah lelaki itu, ada kecemasan yang menghantuinya. Ia seolah khawatir akan ada sesuatu yang tak baik. Tapi raut itu segera sirna, setelah salah satu dari kami menawarkan untuk berfoto bersama, untuk menghiasi moment perpisahan itu. Kami pun beranjak kembali menuju dunia kami sendiri-sendiri.

***

15 Agustus 2009, sekitar jam 08.25 pagi, dering bunyi nada sms mengalun di handphone saya, ada dua potong sms yang dikirim dari seorang sahabat yang juga pemred jurnal kami. Isi sms itu ternyata berita duka, tentang lelaki tua yang akhirnya pergi meninggalkan kami. Saya pun terkejut. saat duka masih terasa karena ditinggal pergi oleh seniman besar belum juga hilang, kini duka itu menyumbat kembali di pikran dan perasaan. Lelaki tua yang dilupakan oleh bangsa ini, kini pergi menuju tempat peristirahatan terakhirnya. ia pergi di bulan yang kata orang adalah bulan yang dinamai dari seorang kaisar hebat Romawi Kuna, bulan Agustus bulannya August Caesar.

***

Lelaki tua itu adalah Joesoef Ishak, lelaki yang berjasa dengan menerbitkan tetralogi Buru karya sang maestro “realisme social” Pramoedya Ananta Toer, sahabat karibnya. Lelaki yang tanpa rasa takut (walaupun ia mengaku bahwa sebenarnya ia takut) menerbitkan karya-karya Pram yang dinilai Sosialis dan Komunis itu. Ia berjibaku memulihkan kerangka pikir bangsa yang dinilainya telah dibengkokan oleh Rezim Otoriter Orde Baru.

Lelaki tua yang disela-sela masa tuanya, masih saja membiasakan dirinya untuk membaca buku. Salah satu buku yang mengelitik pikirannya adalah “Reinventing Indonesia”. Ia beranggapan bahwa buku itu sia-sia, karena yang sejatinya harus ditulis adalah “reinventing Mindset of Indonesia” (baca PendarPena Edisi “kiri Indonesia”). Pernyataannya itu ia lontarkan karena masyarakat Indonesia telah terjerabak masik dalam alur pikir yang sesat, dan sudah seharusnya dibenahi.

Tapi kini, Joesoef Ishak telah tiada. Ia pergi dengan menginggalkan pesan pada kami, bahwa perubahan hanya bisa dimungkinkan jika pola pikir bangsa ini telah dibenahi.

Selamat jalan Joesoef Ishak. Kini adalah tugas kami untuk melanjutkan apa yang kau harapkan.

9 Agustus 2009

Tentang Kemarin (88)

kemarin tepat pukul 10.15, densus 88 berhasil melumpuhkan gembong teroris kelas kakap yang sudah lama menjadi incaran pemerintah indonesia. dialah Noordin M Top, laki-laki yang disinyalir menjadi otak dibalik semua peristiwa pemboman yang merugikan ekonomi dan keamanan di indonesia.

pemberitaan pun ramai menyebutkan dan memuji apa yang telah dilakukan oleh densus 88 kali ini, bahkan ada yang menyatakan bahwa hal ini adalah sebuah pencapaian yang paling sukses dalam menangani teroris. tapi dilain pihak, ada juga yang masih meragukan tentang keberhasilan tersebut. satu diantaranya adalah Hendropriyono yang kita kenal sebagai mantan kepala BIN. Hendro seolah sangsi bahwa yang mati di Temanggung adalah Noordin, hal ini didasari oleh keyakinan Hendro bahwa Noordin bukanlah orang yang dapat dengan mudah dikejar. pengalaman Hendro selama menjadi kepala BIN, mungkin menjadi dasar dari asumsinya dalam menanggapi hal ini. walaupun, Hendro sendiri tidak menampik kalo dia juga memberikan ucapan selamat kepada densus 88 atas hal ini.

akan tetapi yang kemudian menjadi menarik bagi saya adalah fenomena angka yang mengitari peristiwa ini. kejadian penangkapan Noordin dilakukan pada tanggal 8 bulan 8 oleh densus 88. sementara itu waktu yang dihabiskan untuk memburu teroris tersebut memakan waktu 8 jam + 8 Jam = 16 jam dan peristiwa ini terjadi bertepatan dengan akan dirayakan HUT RI yang ke 8 x 8 = 64 Tahun. fenomena ini pun ditambah lagi dengan selang 1 bulan dari kejadian pemboman di hotel Marriot dan Ritz-Charlton yang terjadi pada tanggal 17 juli, yang jika dibahasakan ulang menjadi 1+7 =8, dan jeda 1 bulan merupakan angka tambah bagi angka 7 yang menujuk pada blan juli, dan jika kita pikir secara sederhana, semua angka menuju pada angka 88.

lantas yang menjadi pertanyaan kemuian adalah, apakah memang betul bahwa tragedi ini penangkapan Noordin Top itu adalah sebuah kebetulan ataukah sebuah konspirasi yang direncanakan oleh politik global yang bermain di neara ini? atau malah jangan-jangan tokoh Noordin Top itu sebenarnya hanya tokoh fiktif hasil rekayasa dari konspirasi global?

Tapi apapun itu, jangan sampai kita terjebak untuk lupa dan teralihkan oleh politik media, bahwa di negara ini pun sedang terjadi permasalahan yang bisa mengganggu jalannya demokrasi kita, yakni kisruh pilpres dan permasalahan TKW yang belum bisa dituntaskan oleh pemimpin-pemimpin kita.


semoga..